Baru-baru ini, sebuah media ternama asal Australia ABC News merilis berita tentang tingginya angka pengangguran di Indonesia, terutama di kalangan Gen Z. Mereka juga menilai Gen Z terlalu memilih pekerjaan dan banyak maunya, benarkah demikian? Mari kita bahas bersama.
Pertama sekali, ABC News mengambil data pengangguran di Indonesia berdasarkan survei dari lembaga lokal. Bukan angka yang sedikit, jumlah pengangguran di kalangan Gen Z Indonesia dinyatakan mencapai angka 10 juta.
Tidak hanya sampai di situ, ABC juga mewawancarai beberapa narasumber dari Indonesia, salah satunya adalah Indira Cader. Perempuan yang berusia 25 tahun ini sudah menyelesaikan pendidikan Magister (S2) Hubungan Internasional di salah satu kampus ternama di Indonesia. “Meskipun saat ini saya sudah menyelesaikan pendidikan S2 tapi sangat sulit sekali memperoleh pekerjaan di Indonesia”, jelasnya.
Setelah beberapa bulan lamanya ia melamar pekerjaan, Indira tidak berhasil sama sekali. Hal serupa juga dialami oleh anak muda lainnya di Indonesia.
Sebagaimana target Indonesia menjadi salah satu negara yang makmur di tahun 2045 dengan sebutan “Indonesia Emas”. Tentunya kaum muda sekarang akan mengambil banyak peran bagi perekonomian Indonesia dalam 10-20 tahun kedepan.
Tapi fakta berkata lain,, lembaga survei lokal baru-baru ini merilis data 10 juta pemuda Indonesia tidak dalam kondisi bekerja, belajar, maupun dalam masa pelatihan. Angka yang fantastis ini dinyatakan sebagai jumlah pengangguran.
Adapun rentang umur kategori pengangguran ini berada di antara 15-24 tahun. Persentase mereka mencapai 22,3 persen dibandingkan 4,8 persen dari populasi yang tidak menganggur. Beranjak dari data ini, tingginya angka pengangguran dari kalangan muda menjadi penghambat serius untuk visi Indonesia di tahun 2045.
Lalu, apa permasalahan sebenarnya?
Daftar Isi:
Salah Paham Tentang Gen Z
Indira adalah salah satu anak muda dari kategori Gen Z di Indonesia, yang mencapai populasi lebih dari 74 juta orang, dan merupakan bagian dari 27,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Sebagai informasi, Gen Z ini adalah anak yang lahir di antara tahun 1997 sampai 2012.
Indira sebelumnya diberhentikan di perusahaan tempat ia bekerja pada akhir tahun 2023. Setelah itu, ia terus berusaha melamar pekerjaan namun belum ada yang berhasil.
“Saya sudah melamar banyak di berbagai perusahaan”, tegasnya kepada ABC. “Sudah banyak juga proses perekrutan pekerjaan yang saya lalui, hingga ke tahap wawancara.
“Itu bisa menghabiskan waktu selama sebulan untuk proses lamaran kerja, tapi pada akhirnya, mereka (pihak perusahaan) sering mengatakan bahwa sudah memiliki kandidat yang tepat untuk direkrut. Bahkan tak jarang, mereka memutuskan untuk membatalkan lowongan pekerjaan pada di akhir-akhir waktu.”
Banyak generasi muda Indonesia menyuarakan kendala mereka dalam mendapatkan pekerjaan di sosial media seperti Instagram, X dan TikTok.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Gen Z susah masuk ke dalam dunia kerja karena mereka “terlalu memilih dan banyak maunya”.
Ada penelitian yang dilakukan di negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia menyatakan bahwa Gen Z sering dicap sebagai “pemalas tapi berjiwa sosial tinggi” di tempat kerja .
Namun, tidak sedikit juga yang membantah bahwa stereotip ini bisa menimbulkan efek yang bahaya di dunia kerja.
Termasuk Indira yang menyayangkan pernyataan fenomenal ini. Ia menyatakan kesalahpahaman yang disematkan untuk Gen Z bisa membuat perekrut tenaga kerja tidak menyukai Gen Z.
“Tidak semua Gen Z pemilih” lanjutnya. “Tidak semuanya dari golongan kami yang berlaku seenaknya dan malas melakukan pekerjaan di lingkungan kerja.”
Persyaratan Kerja yang Tidak Masuk Akal
Alya Stephanie adalah Gen Z selanjutnya yang diwawancarai oleh ABC News. Perempuan berusia 23 tahun ini sudah menamatkan kuliah sejak Juni 2022, namun sampai saat ini juga belum memiliki pekerjaan.
“Saya sebelumnya berharap bisa dapat pekerjaan dalam waktu singkat karena saya juga wisuda dari universitas top di Indonesia,” ungkapnya.
Alya sudah melamar sebanyak 12 pekerjaan tapi ia sadar kalau persyaratan bagi fresh graduate tidak masuk akal.
“Saya heran dan itu sangat bertentangan, bagaimana mungkin seorang Fresh Graduate memiliki pengalaman kerja. Tapi mereka menerapkan syarat itu dalam rekrutmen pekerjaan.” pungkasnya.
Ia menambahkan untuk magang saja juga butuh pengalaman kerja.
“Bagaimana kami mendapatkan pengalaman ketika perusahaan sudah mengajukan banyak pertanyaan di awal?
“Jadi hal ini bikin saya ragu saya cocok untuk bekerja atau tidak.”
Alya berharap pemerintah dan pihak kampus bisa mempersiapkan mahasiswanya untuk terjun ke dunia kerja sebelum mereka wisuda.
“Tidak ada yang memberitahu kami sebelumnya kalau dunia kerja yang sesungguhnya seperti ini,” tuturnya.
“Kami bingung dimana lagi bisa melamar pekerjaan, apa yang seharusnya ditulis di CV, dan seperti apa proses perekrutannya.
“Semua ini trial and error.” tutupnya.
Tidak Ada Titik Temu
Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah mengatakan bahwa profesi yang diincar oleh Gen Z tidak cocok dengan pekerjaan yang dibutuhkan oleh negara.
“Jika kita melihat data, lulusan SMA dan SMK merupakan penyumbang angka pengangguran terbanyak di Indonesia, terutama SMK,” seperti dikutip ABC News.
“Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya karena tidak ada kecocokan.” tuturnya.
Di lain sisi, Devie Rahmawati seorang peneliti dari kampus UI jurusan Hubungan Masyarakat, berpendapat bahwa pemerintah harus berinvestasi lebih untuk SMK guna mengajarkan pekerjaan yang dibutuhkan oleh negara.
“Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ini adalah sektor utama perekonomian Indonesia, tapi di bidang ini sangat sulit mendapatkan tenaga kerja,” tuturnya.
Dr Rahmawati mengungkapkan banyaknya generasi muda yang lebih tertarik mempelajari jurusan Komunikasi, IT, dan Ekonomi.
“Indonesia punya ideologi, jika mau sukses maka Anda harus mempunyai pendidikan yang tinggi,” tambahnya.
Ia mengungkapkan bahwa banyak siswa yang berpotensi tidak mau mengikuti pendidikan yang menjurus seperti SMK karena mereka berpendapat SMK tidak memiliki status sosial yang tinggi. Meskipun SMK menawarkan keahlian yang bisa digunakan langsung di dunia kerja.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang membentangkan karpet merah bagi dunia kerja, tapi menjadi pilihan kedua atau ketiga bagi anak muda di Indonesia,” lanjutnya.
“Bagaimanapun juga, pendidikan yang tinggi berkaitan erat menjadi seorang akademisi, yang biasanya mendorong untuk meraih gelar Master atau Doktor.
“Di sisi lain, Sekolah Kejuruan adalah cara termudah untuk bisa langsung terjun ke dalam dunia kerja.”
Saat ini, Pemerintah Indonesia sudah mulai membenah pendidikan yang bersifat kejuruan dan pelatihan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Faktanya, pada tahun 2019 Pemerintah mulai memperkenalkan Direktorat Jenderal Pendidikan Kejuruan yang baru.
Selanjutnya pada tahun 2022, Presiden mengeluarkan regulasi bagi SMK untuk berkesempatan konsultasi secara langsung dengan berbagai industri. Hal ini diwujudkan dengan cara memfokuskan program pendidikan dan pelatihan.
Tapi meskipun Indonesia sudah berada di jalur yang tepat, Dr Rahmawati mengatakan hal ini membutuhkan banyak waktu bagi negara untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Mematahkan Stereotip Negatif Terhadap Gen Z
When asked how employers can help alleviate the challenges faced by the younger generation, Ms Stephanie hoped they would be more open to hiring the younger generation.
Ketika ditanya bagaimana perusahaan di Indonesia bisa membantu banyak generasi muda, Alya berharap perekrut tenaga kerja bisa mempertimbangkan lebih banyak generasi muda.
Kami tidak sempurna. Kami baru saja keluar dari kampus dan ingin memiliki banyak pengalaman,” pungkasnya.
Sambil melanjutkan misinya dalam mencari pekerjaan, Alya memiliki usaha sampingan dengan membuka usaha kue melalui akun instagramnya.
Melalui usaha ini, ia menjual kue, brownies dan jenis makanan panggang lainnya dengan menggunakan sistem pre-order.
Alya membuka bisnis kecil-kecilan ini untuk tetap produktif dan terus termotivasi. Meskipun penghasilannya tidak besar, setidaknya ia bisa membantu pendapatan untuk keluarganya di rumah.
“Meskipun banyak Gen Z yang menganggur, mereka juga bisa tetap produktif. Banyak cara dari mereka untuk menghasilkan uang, seperti menjadi konten kreator dan membuka usaha kecil-kecilan,” tutupnya.
Indira Cader juga berharap perusahaan tidak terpengaruh dengan apa yang mereka dengar di media sosial tentang Gen Z.
“Selalu ada dua sisi dari setiap cerita, banyak dari kami yang senang menerima pekerjaan apapun yang tersedia,” pungkasnya.
“Masih banyak dari golongan kami yang gigih untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi diri-sendiri dan keluarga. Saya berharap perusahaan bisa membantu kami dalam mewujudkan harapan ini.”
Sumber: ABC News – Indonesia’s Gen Z are struggling to find jobs. Is stereotyping or a skills mismatch to blame?